Activists protested outside the Constitutional Court on 4 October. Photo by Akbar Nugroho Gumay for Antara.

 

Jimly Asshiddiqie

10 October 2022

 

Pada hari Selasa, tanggal 26 September, 2022, Komisi 3 DPR-RI mengadakan rapat dan memutuskan untuk mengadakan rapat pleno untuk mengundang bakal calon Hakim Konstitusi untuk ditetapkan sebagai calon Hakim Konstitusi yang akan diajukan kepada Presiden untuk menerbitkan Keputusan Presiden sebagaimana mestinya. Pada hari Kamis, tanggal 29 September, 2022, pagi, Komisi 3 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) yang membidangi urusan hukum mengadakan sidang dengan mengundang Prof. Dr. Guntur Hamzah selaku Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi untuk diminta kesediaannya menjadi calon Hakim Konstitusi. Setelah proses tanya jawab dengan para anggota Komisi 3 DPR-RI, akhirnya, pencalonan Guntur Hamzah disepakati dalam Pleno Komisi 3 sebagai calon Hakim Konstitusi yang akan diajukan kepada Presiden. Keputusan Komisi 3 DPR-RI ini dilaporkan dalam Sidang Paripurna DPR-RI pada sore harinya, dan disetujui secara aklamasi serta ditetapkan menjadi keputusan resmi Dewan Perwakilan Rakyat.

Keputusan yang ditetapkan oleh DPR-RI ini berlangsung sangat cepat dan mendadak, serta tidak diketahui oleh khalayak umum mengenai latar-belakangnya, sehingga menimbulkan kegaduhan di dunia hukum dan peradilan di Indonesia. Atas kejadian ini, saya selaku salah seorang pendiri dan mantan Ketua pertama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (2003-2008) ditanya oleh wartawan mengenai hal ini, dan langsung memberikan komentar bahwa pengisian jabatan hakim konstitusi oleh DPR harus disebabkan oleh adanya kekosongan dalam jabatan hakim yang pernah diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Artinya, harus ada lebih dulu hakim yang meninggal dunia, berakhir masa jabatannya, berhenti (mengundurkan diri), atau diberhentikan, baru timbul kekosongan dalam jabatan. Atas dasar kekosongan itulah maka DPR berwenang melakukan langkah-langkah proses rekruitmen baru untuk mengisi jabatan kosong. Jika kekosongan itu terjadi, maka Mahkamah Konstitusi haruslah memberitahukan hal itu kepada lembaga pengusul yang akan melakukan proses rekruitmen baru sebagaimana mestinya menurut undang-undang.

Namun, keputusan DPR-RI tersebut yang berlangsung sangat mendadak dan sangat cepat tersebut di atas, tanpa didasarkan oleh kepastian mengenai kekosongan jabatan hakim konstitusi, dan siapa, dan juga tidak ada surat pemberitahuan sebelumnya dari Mahkamah Konstitusi mengenai kekosongan dalam jabatan seperti tersebut. Jika keputusan DPR-RI itu dibenarkan, berarti hakim konstitusi akan berjumlah 10 orang, dan hal itu pasti bertentangan dengan ketentuan konstitusi. Baru diketahui kemudian bahwa ternyata, penetapan calon hakim konstitusi yang baru dimaksudkan sebagai pengganti Prof. Dr. Aswanto yang sekarang menduduki jabatan sebagai Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. Mengapa Aswanto? Bukankah masa jabatan Aswanto menurut ketentuan UU yang baru (UU No. 7 Tahun 2020) akan berakhir pada tanggal 21 Maret 2029, atau jikapun mengikuti ketentuan UU yang lama yaitu UU No.24 Tahun 2003, masa jabatannya akan berakhir pada tanggal 21 Maret 2024 (masih 1,5 tahun lagi).

Artinya, dalam membuat keputusan DPR-RI berasumsi bahwa Prof. Dr. Aswanto telah diberhentikan dari kedudukannya sebagai hakim Mahkamah Konstitusi sehingga terjadi kekosongan jabatan. Namun, oleh karena pemberhentian Aswanto sebagai hakim konstitusi sama sekali belum didasarkan atas keputusan presiden, maka dapat dikatakan bahwa DPR-RI lah yang memberhentikan Aswanto sebagai hakim untuk selanjutnya akan mengusulkan kepada Presiden menerbitkan Keputusan Presiden untuk (i) memberhentikan Aswanto dan (ii) mengangkat Guntur Hamzah sebagai Hakim Konstitusi. Hal ini diiringi pernyataan dari Bambang Wuryanto selaku Ketua Komisi 3 DPR-RI bahwa sebagai orang yang berasal dari usulan DPR, Aswanto seharusnya membela kepentingan DPR, namun selama ini ternyata tidak membela kepentingan DPR, sehingga dipandang harus diganti dengan Guntur Hamzah sebagai hakim yang baru.

Dengan demikian, di mata Komisi 3 DPR-RI, 3 orang hakim konstitusi yang dipilih dan diajukan oleh DPR-RI adalah orang yang bertugas mewakiliki dan mengawal kepentingan DPR-RI, yang jika kinerjanya di Mahkamah Konstitusi tidak memuaskan, maka DPR-RI berhak melakukan “recalling”. Jika logika ini dibenarkan, maka dapat saja Presiden dan Mahkamah Agung melakukan tindakan yang sama, yaitu jika kinerja ketiga hakim yang berasal dari usulannya tidak memuaskan bagi kepentingan Presiden dan/atau Mahkamah Agung, keduanya menarik dukungan, atau membatalkan usulan atau dengan istilah lain yang tidak lain merupakan tindakan “recalling”. Dampaknya, dapat dipastikan akan sangat membahayakan independensi dan bahkan eksistensi Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal demokrasi dan konstitusi.

Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Konstitusi

UUD NRI Tahun 1945 dan Undang-Undang telah mengatur dengan jelas perbedaan prosedur mengenai pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi. Dalam UU No. 24 Tahun 2003 jo UU No. 7 Tahun 2020, ketentuan mengenai pengangkatan diatur dalam Bagian Pertama Bab IV, Pasal 15 sampai dengan Pasal 20. Sedangkan ketentuan mengenai pemberhentian diatur dalam Bagian Kedua, Pasal 23 sampai dengan Pasal 26. Dalam rangka pengangkatan hakim konstitusi, memang benar ada keterlibatan DPR-RI dalam rekruitmen 3 orang hakim konstitusi yang diajukan kepada Presiden untuk ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Hal ini diatur dalam Pasal 24C ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden”.

Menurut Pasal 19 UU No. 24 Tahun 2003, “Pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif”. Selanjutnya, pada Pasal 20 UU tersebut, ditegaskan bahwa: “(1) Ketentuan mengenai tata-cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1)”; “(2) Pemilihan hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara objektif dan akuntabel.”. Dari kedua pasal ini dapat dipahami bahwa (i) sistem rekruitmen hakim konstitusi harus diatur oleh masing-masing lembaga, yaitu MA, DPR, dan Presiden; dan (ii) sistem rekruitmen tersebut harus lah dilaksanakan secara transparan, partisipatif, objektif, dan akuntabel. Sampai sekarang, belum ada peraturan yang dibuat oleh masing-masing lembaga yang berwenang secara konsisten dan terpadu. Mudah-mudahan setelah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi menduduki jabatan sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, pengaaturan yang bersifat tetap dan terpadu mengenai sistem rekruitmen hakim konstitusi dapat diselesaikan sehingga tidak membuka ruang untuk terjadinya percobaan-percobaan yang mengganggu independensi Mahkamah Konstitusi seperti dalam kasus Aswanto tersebut di atas.

Sementara itu, pengaturan mengenai pemberhentian hakim konstitusi sama sekali berbeda dari tatacara pengangkatan. Tatacara pemberhentian diatur dalam Pasal 23 sampai dengan Pasal 27 dan Pasal 27A UU No. 7 Tahun 2020 jo UU No. 24 Tahun 2003. Pasal 27 UU No. 24 Tahun 2003 menyatakan, “Ketentuan mengenai tatacara pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25, diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Konstitusi”. Ketentuan ini, dilengkapi pula oleh Pasal 27A ayat (7) UU No. 7 Tahun 2020 dengan mengaitkannya dengan penegakan kode etik dengan menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan, organisasi, dan tata beracara persidangan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi”. Dengan demikian, sistem pemberhentian hakim konstitusi menurut UU diatur sendiri oleh Mahkamah Konstitusi, bukan oleh lembaga lain. Ini menegaskan independensi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang dijamin oleh UUD dan UU yang berlaku dari kemungkinan para hakimnya diberhentikan secara semena-mena oleh lembaga lainnya.

Pemberitahuan Tentang Kekosongan Jabatan

Menurut Pasal 26 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2020, “Mahkamah Konstitusi memberitahukan kepada lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) mengenai hakim konstitusi yang akan diberhentikan dalam jangka waktu paling lama 6 bulan sebelum memasuki usia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c”. Dalam kasus Aswanto di atas, Mahkamah Konstitusi sama sekali tidak atau belum pernah berkirim surat kepada DPR-RI tentang usia pensiun hakim konstitusi Aswanto, yang menurut ketentuan UU No. 7 Tahun 2020 yang juga telah dikukuhkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 96/PUU-XVIII/2020, akan berakhir pada tanggal 21 Maret 2029. Surat yang dikirim oleh Mahkamah Konstitusi kepada DPR-RI justru adalah surat pemberitahuan tentang putusan Mahkamah Konstitusi itu sendiri.

Tepatnya, pada tanggal 21 Juli 2022, Ketua Mahkamah Konstitusi mengirimkan surat resmi kepada (i) Presiden, (ii) Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, dan (iii) Ketua Mahkamah Agung yang berisi pemberitahuan tentang putusan Mahkamah Konstitusi No. 96/PUU-XVIII/2020. Kepada masing-masing diberitahukan bahwa Mahkkamah Konstitusi telah memutus pengujian materiel Pasal 87 huruf a dan Pasal 87 huruf b UU No. 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dengan amar sebagai beriikut:

  1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian.
  2. Menyatakan Pasal 87 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2020 tentang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Nomor 6554) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
  3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
  4. Menolak pernohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.

Dalam salah satu pertimbangan putusan (ratio decidendi) yang termuat dalam butir [3.22] putusan aquo, dinyatakan bahwa:

“Menimbang bahwa setelah jelas bagi Mahkamah akan niat sesungguhnya (original intent) dari Pembentuk Undang- Undang dalam pembentukan UU 7/2020, maka Mahkaamah berpendapat ketentuan Pasal 87 huruf b UU No. 7/2020 tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pembacaan atas rumusan Pasal 87 huruf b UU 7/2020 menurut Mahkamah harus dipahami semata-mata sebagai aturan peralihan yang menghubungkan agar aturan baru dapat berlaku selaras dengan aturan lama. Bahwa untuk menegaskan ketentuan peralihan tersebut tidak dibuat untuk memberikan keistimewaan terselubung kepada orang tertentu yang saat ini sedang menjabat sebagai hakim konstitusi, maka Mahkamah berpendapat diperlukan Tindakan hukum untuk menegaskan pemaknaan tersebut. Tindakan hukum demikian berupa konfirmasi oleh Mahkamah kepada lembaga yang mengajukan hakim konstitusi yang saat ini sedang menjabat. Konfirmasi yang dimaksud mengandung arti bahwa hakim konstitusi melalui Mahkamah Konstitusi menyampaikan pemberitahuan ihwal melanjutkan masa jabatannya yang tidak lagi mengenal adanya periodesasi, kepada masing-masing lembaga pengusul (DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung).”

Atas dasar itulah, Mahkamah Konstitusi menganggap perlu menerbitkan surat sebagai tindakan hukum berupa tindakan pemberian konfirmasi kepada lembaga-lembaga yang mengusulkan dan mengajukan hakim konstitusi yang saat ini sedang menjabat. Konfirmasi yang dimaksud mengandung arti bahwa hakim konstitusi melalui Mahkamah Konstitusi menyampaikan pemberitahuan ikhwal melanjutkan masa jabatannya yang tidak lagi mengenal periodesasi, kepada masing-masing lembaga pengusul, yaitu (i) DPR, (ii) Presiden, dan (iii) Mahkamah Agung. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, DPR-RI justru menjadikan surat Mahkamah Konstitusi tersebut sebagai alasan untuk mengambil tindakan konfirmasi, seolah-olah atas permintaan Mahkamah Konstitusi. Dalam suratnya, Mahkamah Konstitusi justru memberi konfirmasi kepada DPR, bukan meminta konfirmasi dari DPR. Dengan kata lain, surat Mahkamah Konstitusi tersebut disalahpahami dan bahkan disalahgunakan oleh DPR untuk memberikan konfirmasi dengan mengusulkan pemberhentian Hakim Konstitusi Aswanto dan mengajukan Guntur Hamzah sebagai hakim konstitusi penggantinya.

Respons DPR

Dari tiga lembaga yang dikirimi surat oleh Ketua Mahkamah Konstitusi per tanggal 21 Juli 2022 tersebut, yang paling cepat merespons adalah Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam surat tersebut juga diberitahukan mengenai 3 hakim yang pengangkatannya diusulkan oleh DPR, yaitu:

  1. Dr. Arief Hidayat yang berdasarkan UU No. 24 Tahun 2003 menjabat mulai 1 April 2013 s/d 27 Maret 2023 dan berdasarkan UU No. 7 Tahun 2020 menjabat sampai dengan 3 Februari 2026.
  2. Dr. Aswanto yang berdasarkan UU No. 24 Tahun 2003 menjabat mulai 21 Maret 2014 s/d 21 Maret 2024, dan berdasarkan UU No. 7 Tahun 2020 menjabat sampai dengan 21 Maret 2014 s/d 21 Maret 2029.
  3. Wahiduddin Adams yang berdasarkan UU No. 24 Tahun 2003 menjabat mulai 21 Maret 2014 s/d 21 Maret 2024 dan berdasarkan UU No. 7 Tahun 2020 menjabat sampai dengan 21 Maret 2024.

Dari ketiga hakim, yang tercatat paling duluan akan mengakhiri masa jabatannya adalah Hakim Wahiduddin Adams, yang menurut UU No. 7 Tahun 2020 juncto Putusan Mahkamah Konstitusi No. 96/PUU-XVIII/2020, yaitu pada 21 Maret 2024. Namun, yang diusulkan untuk diberhentikan oleh DPR justru Hakim Aswanto yang usia jabatannya masih jauh lebih lama, yaitu hingga 21 Maret 2029. Mengapa Aswanto? Ada dugaan bahwa hal ini berkaitan dengan beberapa putusan Mahkamah Konstitusi beberapa tahun terakhir yang mengabulkan dan mengakibatkan kekecewaan dari pihak pembentuk undang-undang (DPR dan Pemerintah), padahal Hakim Aswanto adalah Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi yang diajukan pengangkatannya oleh DPR-RI.

Suasana kebatinan di lingkungan DPR-RI, setelah adanya perubahan jabatan hakim konstitusi dari sistem periodesasi ke sistem usia 70 tahun, merasa telah berbuat baik untuk kepentingan para hakim Mahkamah Konstitusi. Karena, berkembang persepsi, tidak seharusnya permohonan perkara-perkara pengujian pelbagai undang-undang yang dianggap strategis dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, termasuk pengujian formil Omnibus Law UU Cipta Kerja yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi yang menimbulkan kekecewaan berat di kalangan pejabat pemerintahan dan parlemen. Atas dasar kekecewaan ini pula maka, atas kesepakatan bersama DPR dan Pemerintah, dirancang lah undang-undang baru, yaitu RUU tentang Perubahan Keempat UU Mahkamah Konstitusi, yang telah ditetapkan dalam Sidang Paripurna DPR sebagai RUU Inisiatif DPR.

Dalam RUU Perubahan Keempat UU Mahkamah Konstitusi tersebut dimuat ketentuan BAB IVB tentang EVALUASI HAKIM KONSTITUSI, pada Pasal 27C yang berisi 4 ayat sebagai berikut:

(1) Hakim konstitusi yang sedang menjabat dievaluasi setiap 5 (lima) tahun sejak tanggal pengangkatannya oleh masing-masing lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1).

(2)    Selain evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), evaluasi juga dapat dilakukan sewaktu-waktu berdasarkan pengaduan atau laporan dari masyarakat kepada lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1).

(3)    Hasil evaluasi terhadap hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi.

(4)    Ketentuan lebih lanjut mengenai evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur oleh peraturan masingmasing lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1).

Jika ketentuan tersebut diberlakukan, dapat dibayangkan bagaimana Hakim konstitusi bekerja di bawah bayang-bayang pengawasan dan evaluasi oleh tiga cabang kekuasaan yang mengusulkan pengangkatannya masing-masing, yang bilamana diperlukan di”recall” dari kedudukannya sebagai hakim konstitusi yang seharusnya bersifat merdeka sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar. Karena itu, ide untuk memberi kewenangan kepada Presiden, DPR dan Mahkamah Agung untuk melakukan evaluasi ini juga harus dihentikan. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Pasal 24 ayat (1) juga menegaskan bahwa: “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Bagaimana mungkin hakim dapat bekerja dengan merdeka, jikalau mereka terus menerus dievaluasi dan bahkan dapat dievaluasi setiap waktu dan untuk setiap kasus perkara berdasarkan pengaduan atau laporan dari masyarakat kepada lembaga yang berwenang, yaitu Presiden, DPR, dan/atau Mahkamah Agung.

Mekanisme evaluasi ini baru dituangkan dalam draf rancangan undang-undang yang masih akan dibahas oleh DPR-RI bersama dengan Pemerintah. Namun, jalan pikiran yang terkandung di dalamnya sudah mewarnai cara pandang para anggota Komisi 3 DPR-RI dalam memutuskan usul pemberhentian Hakim Aswanto dan pengusulan hakim baru, yaitu Guntur Hamzah. Hakim Aswanto dievaluasi dengan kesimpulan harus di”recall” dan digantikan oleh calon hakim Guntur Hamzah. Momentum untuk pengambilan keputusan mengenai hal itu adalah adanya surat resmi dari Ketua Mahkamah Konstitusi mengenai tindakan konfirmasi yang dipahami sebagai permintaan konfirmasi dari Mahkamah Konstitusi kepada DPR, padahal isinya justru Mahkamah Konstitusi yang memberikan konfirmasi mengenai perpanjangan masa jabatan dari sistem periodesasi menjadi sistem usia 70 tahun.

Catatan Akhir

Sebagai mantan Ketua Mahkamah Konstitusi periode pertama (2003-2008), saya diminta meresponse kasus Aswanto ini dengan cepat. Karena itu, wawancara beberapa media pada hari ketika DPR-RI membuat keputusan mendadak pada hari Kamis, 29 September, 2022, saya langsung menyatakan bahwa hal itu melanggar UUD dan bertentangan dengan UU. Bahkan pada hari Sabtu, saya langsung minta bertemu Ketua Mahkamah Konstitusi, tetapi berhubung beliau sedang menuju ke luar kota, atas persetujuan Ketua, saya minta bantuan Sekretaris Jenderal untuk mengundang para mantan hakim konstitusi untuk berdiskusi di Mahkamah Konstitusi pada hari Sabtu, 1 Oktober 2022.

Pertemuan para mantan itu dihadiri oleh 9 orang, termasuk 3 mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, yaitu saya sendiri, Hamdan Zoelva, dan Mahfud MD yang juga adalah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. Enam mantan hakim lainnya adalah Prof. Dr. Laica Marzuki, Dr. Maruarar Siahaan, Dr. Harjono, Prof. Ahmad Sodiki, Prof. Dr. Maria Farida, Dr. I Gede Dewa Palguna. Dari pertemuan itu disimpulkan bahwa Keputusan DPR-RI menetapkan pencalonan Prof. Dr. Guntur Hamzah yang akan diajukan untuk ditetapkan dengan Keputusan Presiden menjadi Hakim Konstitusi melanggar Undang-Undang Dasar dan bertentangan dengan Undang-Undang serta menyalahpahami isi dan maksud surat Mahkamah Konstitusi kepada DPR-RI.

Pergantian hakim konstitusi di tangah jabatan adalah tindakan permberhentian terhadap Hakim Aswanto yang berada di luar kewenangan DPR-RI yang hanya mempunyai kewenangan untuk mengajukan calon hakim jika terdapat kekosongan dalam jabatan hakim konstitusi. DPR-RI secara terang-terangan telah melakukan tindakan di luar batas kewenangannya, yang jika dibenarkan dapat menghancurkan independensi Mahkamah Konstitusi dan bangunan Negara Hukum Indonesia secara keseluruhan. Kasus Aswanto ini dapat dianggap sebagai upaya percobaan melakukan ‘recalling’ politik untuk menundukan cabang kekuasaan kehakiman yang merdeka, yang tidak boleh dibiarkan. Karena itu, disarankan kepada Presiden melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan untuk tidak menindaklanjuti keputusan DPR-RI mengenai pemberhentian Hakim Aswanto dan penetapan hakim baru sampai terjadi kekosongan jabatan hakim sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Saya juga menyarankan agar masalah ini dapat berakhir dengan baik, dapat diadakan pertemuan konsultasi tiga pihak (Presiden, Ketua DPR dan Ketua MK) yang diprakarsai oleh Presiden untuk merumuskan solusi yang terbaik, yang intinya menyatakan bahwa pelaksanaan keputusan yang ditetapkan resmi oleh DPR-RI tersebut ditunda sampai terjadi kekosongan jabatan hakim konstitusi sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

We acknowledge and pay respect to the Traditional Owners of the lands upon which our campuses are situated.

Phone:13 MELB (13 6352) | International: +(61 3) 9035 5511
The University of Melbourne ABN:84 002 705 224
CRICOS Provider Code:00116K (visa information)